Kudapan Pagi

Sebuah hubungan aneh antara perintah, ngebut dan sarapan.

Photo : Kudapan pagi penuh arti / dokpri

BANDUNG, akwnulis.com, “Hadir yaa…”
“Iya bu”

Percakapan singkat yang bermakna panjang. Karena butuh pengorbanan.

“Maksudnya?”

Yup. Karena perintah hadir di acara yang dimaksud datang begitu mendadak. Untungnya sebuah pembiasaan menghasilkan rutinitas yang sesuai dengan tugas-tugas dadakan seperti ini.

“Apa sih tugasnya? Lebay amat lo!!”

Hahahaha, pertanyaan bete dan kepo menyeruak di pagi ceria. Padahal tugasnya sederhana, cuman dampingi pimpinan. Titik. So simple khan?

Yang nggak sederhana adalah, acara mendampinginya jam 07.00 wib di kantor, dan perintahnya dateng jam 06.48 wib.

Untungnya.. ya itu tadi. Memang rutinitas berangkat lebih pagi ke kantor.. yaa target jam 07.10an udah sampe. Pokoknya sebelum 07.30 wib deh.

Jadi pas perintah datang, posisi sudah setengah perjalanan.

Maka…..

….seolah ada legitimasi untuk menginjak gas lebih dalam. Mata dan telinga pasang konsentrasi maksimum. Melihat pergerakan lalulintas di depan, kanan dan kiri mencari celah nyalip dengan presisi, langsung meliuk-liuk dan beraksi.

Ngebuuut!!!

Tapi ingat, jangan sampai mencelakai pihak lain. Baik pemobil, pemotor ataupun yang menggunakan skuter (suku muter). Itu harus diutamakan, karena jalan unum adalah milik bersama. Disinilah indahnya sebuah suasana, satu sisi adrenalin meningkat seiring tugas mendadak. Konsentrasi maksimum, simpan hp ditempat aman, musik ganti dari musik jazz mendayu menjadi aliran IDM penuh semangat.

Jep… ajep.. yeaaah!!!

Sieeet…
Sieeeet… manuver kanan, gas, manuver kiri, gasss!!!…. serasa Schumaker bergabung dengan Valentino Rossi.

Jalan layang Paspati dilalap cepat, menurun di perempatan Gasibu. Lewat lampu merah di gas lagi dan akhirnya 2 belokan berikutnya mengantarkan raga ini tiba di halaman kantor, pukul 06.59 wib.

Parkir secepat mungkin, lalu bergegas ke lantai 3 gedung sate menuju ruang ciremai.

Alhamdulillah tepat waktu. Pas acara mau dimulai.

Sebuah sajian kudapan pagi yang apik, sudah menanti dengan senyuman penuh arti. Meredakan ketegangan dan engah nafas yang masih memburu akibat berlari menaiki tangga demi hadir sesuai waktu yang tak mau berhenti menjalani takdirnya.

Hayu ngaleueut bray. Wassalam (AKW).

Ternyata kamu… *)

Seikat rasa yang tergelitik emosi diatas aspal kehidupan yang panas.

Photo : Dokpri.

Sebenarnya tak kenal dengan pemilik mobil putih kecil itu, tetapi tiba-tiba pas masuk jalan tol langsung terasa begitu akrab dan menjelma menjadi seteru. Tak mau mengalah dan saling susul menyusul, malah hampir bergesekan bagaikan perlombaan rally yang berujung penghargaan. Terasa aura emosional berpadu dengan adrenalin menjalar ke sekujur tubuh, bergerak lincah mendidihkan darah. Memaksa sang kaki menginjak gas hingga lewati batas toleransi. Jemari menggenggam erat stir dan mata begitu fokus melihat pergerakan depan, samping dan belakang.

“Pokoknya tidak boleh kalah, titik!!!.”
Gaung doktrinasi menggenggam otak, memaksa diri untuk berontak, salip kiri bahu jalan menjadi lumrah seolah harga satu nyawa itu sangat murah.
Entahlah, semua terjadi begitu saja.

Duel unjuk kemampuan masih terus berlangsung, saling salip sudah tidak terhitung. Disaat mampu mendahului, terasa degub jantung nengencang dan rasa khawatir disalip mencuat meski kesombongan terasa sesaat sebelum disalip ulang oleh sang kompetitor. Mobil putih melesat kencang mendahului dari bahu jalan.

Segera dikejar tanpa melihat lagi tanda kecepatan yang lewati batas kewajaran. Dada bergemuruh penuh peluh, rasa kalah terasa menyeluruh tapi perjuangan belum usai karena terlihat mobil putih kecil itu jauh didepan tetapi mentertawai dengan tingkat kepuasan tertinggi.
Hampir saja jarum kecepatan di spedometer protes karena melewati 220km/jam, tetapi tak kuasa menolak karena aura persaingan masih menggelegak.

Tepat 30 menit kami “berlomba”, hingga akhirnya mendekati pintu gerbang pasteur dan terjadilah gesekan bodi mobil karena berebut ingin duluan menempelkan kartu e-toll dan keluar dengan rasa masygul. Tanpa kesepakatan kami meminggirkan kendaraan masing-masing. Hamburan kosakata sampah sudah berbuncah dimulut tinggal disemburkan, tetapi….

Yang keluar dari mobil putih sang kompetitor adalah seseorang dengan postur tubuh gagah dan mukanya bersih serta mirip aku. Dia tersenyum sambil mengulurkan tangan, “Maafkan saya yang telah mengganggu kosentrasi mengemudi anda” Aku terdiam karena seolah sedang bercermin. “Kamu siapa?” Meluncur pertanyaan dari bibir yang bergetar. Dia tersenyum, sementara amunisi sumpah serapah yang tadi siap membuncahpun susut dan hilang tanpa disadari.

Aku menunduk sesaat untuk meyakinkan diri bahwa ini bukan mimpi. Tetapi saat wajah kembali diangkat, sang kembaran sudah menghilang begitupun kendaraan putih yang ditungganginya. Hanya tersisa selembar kecil kertas putih yang agak kekuning-kuningan. Perlahan berjongkok dan memungut kertas tersebut. Dibaca perlahan, ‘Lain kali jangan ngebut lagi ya bro.’
Raga terdiam pikiran termangu, sambil menatap goresan di bodi mobil hasil gesekan tadi. Ucap istigfar memenuhi rongga keteledoran. Memberi ruang untuk sesaat terdiam sambil merenungi hikmah kejadian. Wasssalam. (Akw).

*) Coretan iseng menemani perjalanan melintasi tol Cipali.