KOPI & senyum MONYET

Dimanapun ngopi meskipun harus hati2.

SEMARANG, akwnulis.com. Pertemuan dengan hewan yang mirip kita ini tanpa sengaja, tapi mereka menyambut kita dengan sukacita. Sebuah pertemuan yang menjadi menarik jika kita mencoba memberi makna. Turun dari bis di parkiran disambut udara sejuk yang sedikit menderu, jelas rasa dingin langsung mencubit kulit dan memeluk raga sehingga meringis kedinginan.

Disaat mata mencoba melihat ke sekeliling maka bertatap mukalah dengan wajah-wajah lucu berbulu abu. Ada senyuman di wajah – wajah mungil itu, seolah merasa senang dengan kehadiran kami. Tapi disisi lain tangan waspada dengan smartphone atau tas tangan kecil, karena khawatir mendekat dan merebut karena disangka akan memberikan makanan.

Bergerak ke depan, mata terpana melihat terbentang air bendungan atau waduk yang begitu menenangkan. Angin dan gerimis menjadi pelengkap kehadiran kami di sebuah tempat yang ternyata dihuni 523 ekor monyet ini dengan berbagai umur dan ukuran.

Sebagai patokan bahwa memang banyak binatang monyet ini diwakili oleh hadirnya patung besar monyet yang gagah sekaligus agak ngeri karena matanya seolah memandang dengan tegas terhadap siapapun yang datang mendekat.

Kopi hangat yang sedari tadi sudah siap ditampilkan terpaksa di hold dulu, kembali tersimpan di dalam backpack. Kan berabe kalau direbut monyet dan tumpah berantakan.

Setelah melewati patung monyet tadi maka diharuskan menuruni tangga yang di kanan kirinya kawanan monyet menemani. Mereka terlihat berbicara satu sama lain sambil menunjuk-nunjuk ke arah kami yang berjalan takut takut.

Untuk memastikan apa yang dibicarakan, maka segera direkam dan dikonversi menggunakan chatGPT …. tring, teknologi artifisial intelligent beraksi, dan hasilnya adalah : “Wah banyak manusia, hayu kita beri senyuman tapi jangan dekat-dekat, mereka mahluk misterius yang bisa berubah sikap setiap saat”

Gitu katanya beberapa pembicaraan mereka.
Ternyata bener juga itu terjemahan, karena disaat kamera beraksi untuk mengambil gambar, seorang eh seekor monyet tersenyum manis, mulutnya terbuka.

Walah penulis mundur sesaat karena ternyata mongkey smile ini menghadirkan dua taring yang boleh disebut agak mengerikan. Bukan senyuman ini mah, tapi seringai yang sedikit mengancam, aw.

Maka menghindari hal – hal yang tidak diinginkan sementara hasrat ngopi begitu menggebu. Langsung saja mencari posisi yang ideal dan jelas tidak akan diganggu monyet – monyet lagi.

Apa yang dilakukan?”

Ini langkah tepatnya, bergerak ke dekat monyet yang berbentuk patung dan segeralah menikmati kopi disitu. Dijamin monyet – monyet tidak akan mendekat karena sudah ada perwakilannya disini hehehehe. Srupuut.

Alhamdulillah, segar pisan. Mood booster pagi ini. Menghangatkan perut dan menenangkan jiwa sekaligus menambah kewaspadaan terhadap hadirnya monyet – monyet di sekitar kita.

Buat yang penasaran lokasinya, tinggal secarh saja di Google atau tanya di chatGPT dengan kata kunci GOA KREO. Hatur nuhun, Wassalam (AKW).

***

Lokasi GOA KREO
Jl. Raya Goa Kreo, Kandri Kec. Gunungpati Kota Semarang. 50222.

Tanjung Lago2

Bergerak menyusuri aliran sungai dan rawa, menuju tanah pengabdian yang ternyata penuh kejutan dan pelajaran tentang nilai kebersamaan.

Photo : Jembatan Ampera di Sungai Musi / Dokpri.

Sambil menikmati semilir angin sore, wajah lelah berganti cerah. Meski kami beda asalnya tapi disini kami sama, nasiblah yang mempersatukan dalam agenda Latsitarda, sebuah wahana latihan bersama lintas matra multi institusi pendidikan kedinasan untuk beintegrasi bersama. Hilangkan ego demi menjadi bagian dalam pembangunan bangsa yang diawali pengabdian kepada rakyat diseantero nusantara.

Perahu yang kami tumpangi adalah perahu terakhir, 4 perahu telah duluan meluncur membelah rawa. Kami harus menanti sang nakhoda yang sibuk memperbaiki mesinnya yang katanya sedikit bengkok karena sesuatu di rawa sana pada saat perjalanan menjemput kami.

Setelah menunggu 45 menit, perahu dinyatakan laik jalan maka kami satu persatu naik. Selanjutnya duduk seenaknya…. disinilah kami, diatas rawa tak jelas arah duduk berjuntai menikmati suasana tanpa ada pelatih kepala, sesaat terasa merdeka sambil menikmati roti kelapa yang tersisa. Tetapi kesantaian kami terusik mulut usil pengemudi perahu, “Bapak-bapak maaf, kakinya jangan di berada di luar perahu, berbahaya”

Photo : Moncong ikan lupa namanya yang hidup di Sungai Musi / dokpri.

“Ah bapak, bahaya apanya?. Ini sungai tenang begini” Kawanku menjawab sedikit angkuh dan kami sepakat meng-amini.

Lelaki tua itu tersenyum, tanpa banyak cakap tangannya membuka roti kelapa yang tersisa. Lalu melemparkan ke sungai di dekat ujung kanan perahu. Sambil tangan kirinya memegang kemudi perahu. Kami hanya melihat atraksi ini tanpa atensi, cuek aje.

Tapi……. gemericik air tenang berubah menjadi kengerian karena hanya hitungan detik disamping kanan kami terlihat tiba-tiba gambaran jelas moncong buaya muara yang menyantap roti kelapa lalu kembali ke dalam air dengan menyisakan siluet tubuh kekar ukuran 3 meteran dan ombak kecil memberi pesan kegarangan. Kami bersepuluh bagai terhipnotis sihir alami, serempak menarik kaki menjuntai kami dipinggir perahu, terdiam sambil berpandang-pandangan, kengerian itu membekas, dalam.

“Baru kemarin ada yang hilang di seret buaya, karena tak mau dengar peringatan saya. Dicari sudah tak ada jasadnya”, terdengar suara datar sang pengemudi perahu yang semakin mengukuhkan kengerian ini. Untuk sesaat luntur sudah kegarangan dan kegalakan senioritas di ksatrian berganti rasa kerdilnya diri dihadapan alam yang merupakan sentilan dari tuhan, Allah Subhanahu Wataala bahwa kita manusia itu tidak ada apa-apanya hanya seperti setitik debu tiada arah.

Photo : Ikan Buaya / Dokpri.

Perjalan menyusuri sungai rawa ini terasa begitu sepi dalam kebisuan, kami semua waspada karena ternyata alam liar penuh kejutan. Air sungai yang dirasa tenang ternyata menyimpan rahasia kehidupan yang mendalam. Siapa sangka bahwa dibawah kami ikut pula berenang buaya besar dan ikan raksasa…. sungguh ngeri membayangkan semuanya.

Suara serangga sore menyambut hadirnya kami yang melintas di wilayahnya. Suara alam yang menenangkan sekaligus menegangkan. “Hey kawan coba lihat di pohon besar depan sana!!” Joni anak Akpol berseru sambil menunjuk. Terlihat pohon besar yang diisi oleh sosok seperti manusia dengan jumlah sangat banyak. Ternyata monyet berwarna abu sedang bercengkerama bersama!!!. Kami merasa senang karena ada hiburan, tetapi peringatan pengemudi perahu melumerkan lagi nyali kami yang sempat menguat, “Maaf jangan pada ribut, monyet itu bisa menyerang, mencakar, menggigit dan melukai kita”…. semua terdiam dan waspada.

Benar saja, pada saat melewati pohon besar atau pohon raksasa yang semakin jelas berada di depan mata. Terlihat beratus monyet berwarna abu kehitaman karena sedikit tersaput kabut sore, sungguh kawan… itu bukan hitungan satu hingga sepuluh monyet, tapi ratusan!!! Jadi inget Film The Rise of The Planet of The Apes, dimana manusia jadi budak dan monyet sebagai penguasa planet bumi.

Photo capture film dari gugel.

Perlahan tapi pasti perahu gethek kami mendekati… mendekati dan detik-detik yang menegangkan begitu memompa adrenalin kami. Tangan waspada memegang apapun yang mungkin dijadikan senjata jika terjadi penyerangan tiba-tiba.

Pelan-pelan dengan kecepatan normal, perahu bisa melewati pohon raksasa tempat bersemayam ratusan monyet…. mungkin ini kerajaan monyet. Satu meter… ua meter… perahu melewati kerumunan, tiba-tiba terlihat dari dahan yang cukup tinggi, seekor monyet besar menunjuk-nunjuk ke perahu kami. Serempak semua monyet menengok dan berteriak dengan suara khasnya, “Nyeeet… ngok… arrggg.. grok.. grok…nyet.. nyeet” menggema suara ancaman bak orkestra kematian, kami saling memandang dengan wajah siap bertarung untuk menunggu komando perlawanan. Gemuruh suara teriakan ratusan monyet terus terdengar di belakang, tetapi kami lihat tidak ada yang mengejar. Lega lah rasa beban di dada ini. Semua penumpang perahu menarik nafas melepas ketegangan.

Pengemudi eh pak tua nakhoda kapal terkekeh, “Jangan tegang begitu pak, mereka berteriak itu adalah kata-kata sambutan selamat datang” Kami semua melongo, “Serius pak?, tadi begitu menegangkan loh” Mas Abud bertanya dengan nada tak percaya. “He he he he… kalau penyerangan, mereka sudah ngobrak ngabrik nich perahu dan kita semua” .... hiy sungguh seram memikirkannya. Berarti tadi itu teriakan pertama, “Hei kawan tuch ada manusia-manusia lucu pake perahu” Lalu disambut teriakan dari monyet lain, “Iya manusia… hallow”
“Mereka imut-imut, gemes”
“Mirip kita yach”
“Badannya pada sixpack ya?”
Serta beragam komentar lainnya dalam bahasa monyet yang tentu tidak dimengerti, berarti ketegangan tadi terjadi karena faktor bahasa.. ahai, jadi pengen kursus bahasa monyet, tapi dimana?….

Riak air sungai tertutup kabut seakan kami semua sedang menuju dunia lain, udara lembab menusuk hidung memberi sensasi ketegangan lain. Kaki bersepatu lars tetap berada dalam perahu karena khawatir ada mulut buaya yang mengikuti dibawah perahu ini. Dzikir menjadi pegangan diri, menenangkan galaunya rasa yang terus menggelora. Dalam benak kami, “Apalagi yang akan terjadi?”

Satu hal yang pasti ketegangan ini memberi sensasi sendiri, memacu adrenalin dan merekatkan silaturahmi. Kami yang bersepuluh dari asal yang berbeda serasa telah menjadi sodara lama karena berjuang bersama melewati pengalaman menegangkan di alam yang liar penuh kejutan.

Akhirnya setelah menerjang kabut bersaput senja. Perlahan tapi pasti atap perkampungan terlihat nyata, kami melinjak gembira seolah telah lepas dari alam liar dan kembali ke peradaban. Perjalanan dengan perahu gethek selama kurang lebih 3 jam melintasi sungai rawa di Sunatera Selatan ini menjadi pengalaman tak ternilai. Menjadi momentum untuk tafakuri diri bahwa manusia itu bukan apa-apa, tiada daya tanpa kuasa Allah Sang Maha Pencipta.

Didepan kami sungai membentang dengan lebar sekitar 50 meter, disamping kanan terlihat bangunan yang terang dengan lampu penerangan. Terlihat 6 perahu gethek dan satu speedboat tertambat di dermaga sederhana. Kami perlahan mendekat…. mendekat.. mendekat.. Alhamdulillah. Beberapa sosok tubuh dan uluran tangan menyambut kami. Bergerak menginjak dermaga, dan terlihat ada plang lusuh tertempel di bangunan tersebut, ‘Dermaga Tanjung Lago’.

Bersambung…….

(Akw).