3 Pesan moral di KOPI KLOTOK.

Menggali makna di kunjungan kedua ketiga dan seterusnya..

KALIURANG. akwnulis.com. Memarkir kendaraan agak jauh dari tempat yang dituju terpaksa dilakukan karena ternyata begitu banyak kendaraan yang ada dan terparkir berderet memenuhi lahan parkir juga halaman penduduk yang ada. Hilir mudik manusiapun tak terelakkan, tapi itulah kenyataan. Maka langkah kaki menjadi tergesa karena tahu akan apa yang dihadapi selanjutnya.

Benar saja, sesaat memasuki halaman rumah model sederhana beratap genting tanah seadanya sudah mengular antrian manusia menuju pintu masuk yang terbuka dan menyebarkan aura kesetaraan dan kesabaran.

Mengapa disebut setara dan butuh kesabaran?” Seorang kawan yang baru sekarang berkesempatan datang kesini bertanya penasaran. Jawaban pertama adalah jawaban universal yaitu dengan senyum yang seimbang. Dilanjutkan dengan orasi bersemangat sambil pelan tapi pasti melangkah mengikuti antrian. Disebut setara karena disini tidak ada urusan pangkat baik jenderal atau kopral, juga tidak ada atasan bawahan, tidak ada juga orang kaya dan orang miskin ataupun yang nanggung yakni kaya belum tapi gayanya nggak mah kalah hehehehe… juga yang sosialita dengan tas brandednya sama saja dengan emak bersahaja yang penampilan sederhana, intinya semuanya sama, antri dan tak perlu dirapihkan. Semua otomatis menyesuaikan.

Kalau urusan kesabaran, sangat jelas terpampang depan mata. Suhu panas, desak desakan, keringat bercucuran, tapi semua ikut antrian. Ada sih yang sedikit cemberut tapi mayoritas hepi hepi aja dan sambil bercanda. Padahal buruan atau yang ditujunya adalah sajian makanan dan minuman sederhana. “Tapi mengapa banyak orang memburunya?’

Dari celotehan dalam antrian dapat ditebak bahwa banyak pengantri bukan yang pertama datang kesini. Mereka terlihat senang dalam antrian dan bersiap mengambil giliran. Piring seng dipilih lalu ambil nasi sendiri dan memilih sayur lodeh yang tersedia. Pilihanku kali ini adalah sayur lodeh rawit karena butuh kepedasan untuk melengkapi cucuran keringat ini ditambah sambel dadaknya dan telur dadar khas rumah makan ini serta yang tak kalah pentingnya adalah sajian kopi sederhana yang menjadi judul rumah makan beken ini, rumah makan KOPI KLOTOK KALIURANG.

Tak lupa pesan juga pisang gorengnya yang nikmat dimakan bersama panas panas. Tanpa bicara menit, pisang goreng sudah sirna dari piringnya dan bersemayam di perut masing-masing. Nikmat gan.

Setelah dapat makanan tentu ada perjuangan selanjutnya yaitu mencari meja atau tempat kosong. Disini rumus kesetaraan dan kesabaran kembali hadir, maka bisa saja semeja dengan orang yang tidak dikenal dan terjadilah perkenalan sehingga menjadi akrab bak saudara yang dipertemukan disini. Kebetulan kali ini rombongannya berbelas orang. Jadi berbagi tugas saja, ada yang antri dan ambil 2 porsi, ada juga hunting meja dan menduduki dengan setia serta satu tim lagi berburu minuman baik kopi klotok sebagai ikon juga kopi susu dan es reh manisnya yang dingin dan manis… ya iya atuh namanya juga es teh, gimana seeeh.

Pesan kopinya di tempat terpisah tapi kebetulan dekat dengan meja yang sudah diduduki tim pemburu meja, jadi begitu mudahnya memesan tambahan minumannya, bisa es jeruk atau jeruk es. Bagi yang penasaran apa itu kopi klotok maka ini penjelasan lengkapnya, klik saja KOPI KLOTOK. Sebuah tulisan singkatku beberapa tahun lalu menjelaskannya.

Selanjutnya ada pesan moral ketiga setelah kesetaraan dan kesabaran, yaitu kejujuran. Ini dilakukan pada saat transaksi pembayaran, sang kasir hanya bertanya apa yang kita makan dan disebutkan angka sekuan rupiah, bayar dan pulang. Jikalau bohongpun tidak ketahuan, tapi disini semua jujur atau berusaha jujur. Pikiran jadi melayang ke istilah di priangan ‘darmajidahar lima ngaku hiji (makan lima tapi mengaku hanya satu) atau perilaku ini disebut ‘ngalibur.’ Perilaku remajaku yang sudah ditinggalkan karena merugikan pemilik kedai, warung atau rumah makan.

Beranjak ke halaman belakang ternyata banyak orang yang gelar tikar dan duduk lesehan dengan riang gembira serta jalan jalan di pematang sawah dengan kehijauan padi yang mendamaikan. Termasuk juga aroma romantisme muda mudi yang sedang pedekate ataupun sekedar pacaran sambil lesehan di tikar pandan ditemani sajian makanan dan minuman sederhana yang secara tak sengaja tertangkap jepretan kamera.

Maka seruputan kopi klotok di halaman belakang ini menjadi penutup kenikmatan siang ini, namun kembali menguatkan kenangan bahwa sajian makanan dan minuman sederhana ini memiliki makna mendalam seolah mengobati kerinduan rasa dan suasana dari sajian alami neneng moyang… eh nenek moyang yang wajib didatangi dan dinikmati lagi dikemudian hari. Menikmati kesetaraan, kesabaran dan kejujuran dalam satu frame aktifitas makan siang yang tak terlupakan. Wassalam (AKW).

Kopi Klotok Jogja

Menikmati Kopi Klotok di tempatnya.

SLEMAN, akwnulis.com. Mentari masih bersembunyi dibalik semburat janji, tetapi cahaya terangnya sudah mulai merata di seantero kota yang selalu ngangenin untuk dijambangi.

Maka meskipun lelah masih sedikit tersisa setelah menjalani 6,5 jam duduk di gerbong 11D KA Mutiara Selatan tetapi semangat menikmati kenangan di kota gudeg adalah kewajiban heuheuheu sebelum jam 10 pagi harus bergabung pada sebuah meeting resmi yang tentu penuh seremoni.

Maka bermodalkan cerita testimoni dan ulasan yang bertebaran di laman google dan medsos maka diputuskan untuk sarapan di tempat yang sudah buka tentunya dan berlabel ‘kopi’.

Sungguh bersyukur setelah 2 tahun terdiam dan terkungkung keterbatasan karena PPKM dan berbagai istilah lainnya. Kali ini pecah telor dan bisa piknik lagi luar kota…. eh kerja lagi luar kota.

Setelah survey super singkat dilengkapi dengan perenungan (karena masih ngantuk maksudnya 🙂 )… maka dipilih Warung Kopi klothok yang lokasinya menuju utara kota yogya dan cukup jauh, memakan waktu perjalanan 35 menit.. lumayan juga. Tapi keburu ah, lagian di google disebutkan jam 07.00 wib udah buka kok, trus yang lebih penting adalah memiliki tempat makan dengan alam terbuka. Ini menjadi prasyarat pribadi karena masih khawatir atau waspada dengan kerumunan. Apalagi makan minum, dipastikan semua buka masker… ya khan?

***

Dibenak ini yang terbayang awalnya adalah sajian kopi asli yang bernilai tradisional dengan metode manual brew model kopi tubruk dan menghasilkan rasa yang bisa terbagi dari sisi body, acidity dan after taste.

Semangaat, berangkaaat… Bismillah.

Sambil raga bergerak menuju titik tujuan, iseng lagi buka google, ternyata banyak yang namanya kopi klothok hanya saja yang sudah buka sejak pagi adalah warung kopi klothok yang sedang dituju ini yaitu yang terletak di Jalan Kaliurang KM16 Pakem Binangun – Sleman.

Setelah 37 menit perjalanan, maka tibalah di sebuah tempat yang disebut Warung Kopi Klothok jogja ini… walah sudah penuh parkiran.. berarti banyak yang datang nich.

Cusss… ah.

Oh iya untuk cerita tentang makanannya nanti di tulisan selanjutnya. Sekarang mah urusan kopi dulu… kopi klothok.. eh kopi klotok… kelebihan huruf H… tapi ada juga yang nulis pake h.. ya sudahlah terserah.

Ternyata kawan, setelah interogasi halus dan penuh kelembutan maka didapat sebuah kesimpulan bahwa kopi klotok ini adalah lebih kepada merk bukan sajian kopi manual brew yang terbayang tadi di kepala.

Tapi tidak mengapa karena tergantikan oleh vibes yang mendamaikan suasan hati dan sajian kuliner yang memiliki nilai tersendiri (ntar ulasannya ya).

Kopi klotok ini adalah sebuah sajian kopi biasa yang dimasak dengan air panas dan gula dengan bahan dasar bubuk kopi. Nah pada saat dipanaskan airnya dan mendidik maka terdengar suara klotok klotok yang khas dan itulah yang menjadikan nama kopi klotok.

Bicara rasa tentu adalah kopi gula panas biasa, tidak bisa menilai tentang bodi – acidity – dan after tastenya. Tetapi yang menarik adalah suasana alami dengan meja kursi kayu masa lalu ataupun mau lesehan bertikar di halaman bersama keluarga sambil menikmati pemadangan gunung merapi.

Sebagai teman nyruput kopi maka dipesan juga sepiring goreng pisang dan ketan goreng agar melengkapi sarapan pagi ini.

Sruputtt…. hmmm nikmaat.

Selamat pagi, salam dari Jogja. Wassalam (AKW).