Jejak Leluhur 2

Bergerak agak jauh untuk lanjutkan jejak ziarah para leluhur.

SOLO, akwnulis.com. Berbaur dengan banyak orang di kereta KRL Jogja – Solo menjadi pengalaman tersendiri. Dengan harga yang bikin kaget, hanya Rp 8.000,- sangat jauh beda jikalau menggunakan moda transportasi lainnya. Eh bisa murah pake sepeda, tapi nyampenya kapan yaa?…… juga adaptasi teknologinya bagus, semua cashless. Dari mulai masuk peron, duduk di kereta hingga turun di stasiun tujuan.

Pas naik udah penuh, tapi anak kecil, ibu hamil afau orang sakit dan wanita ada hotseat guys dan kalau kayak kita nich, cowok kece dan sehat… caileeee…. maksain duduk di hotseat tersebut karena kursi lain penuh.  Siap-siap didatangi petugas dan disuruh berdiri. Maka semua mata penumpang lain akan ikutan lihat, malunya itu nggak nahan.

Maka mengalahlah, bapakke berdiri, anak istri bisa duduk dengan sedikit nyaman. Trus masker wajib terpasang dan nggak boleh makan minum apalagi merokok, jadi suasana tenang dan bersih tanpa sampah berserakan.

Tiba di Stasion Solo Balapan maka bergegas menuju hotel yang sudah dipesan dengan menggunakan becak bisa kembali bercengkerama dengan deburan… eh salah, semilir angin malam di kota solo.

***

Kehangatan sinar mentari pagi menyambut perjalanan kali ini. Sebuah pergerakan yang sedikit menguras rasa dan emosi karena harus belajar berdamai dengan diri dan memaknai sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi.

Betapa tidak, jika setelah mencoba menghitung tahun. Ternyata sudah 5 tahun, tidak pernah menjejakkan kaki kembali di tanah leluhur sekaligus melakukan ziarah kubur di makam kakek nenek dari garis keturunan ayahanda.

Maka setelah sarapan pagi, berangkat ke daerah Sumber Girimulyo, dimana lokasi makam mbah kakung berada. Alhamdulillah lokasi dapat ditemukan dengan mudah dan GPS hanya sebagai pendukung aja. Jadi ingat dialog sewaktu kecil bercengkerama dengan Almarhum Mbah S. Partoredjo.

“Tumbas seket mbak”
“Koncomu piro?”
“Oalah cucuku lanang”
“Dahar mbah, Dahaaaar!!”

Ah kisah masa kecil yang menyenangkan, meskipun ada juga suasana malas mudik ke solo di kala libur lebaran. Karena disaat salaman harus antri begitu panjang dan sesuai urutan keturunan sambil berucap, “Ngaturaken sembah sujud bla bla bla….”

***

Makam Mbah Kakung terletak di samping komplek perumahan dan dekat dengan rumah om sentot, adik bungsu ayahku. Sehingga tidak sulit menemukan makamnya karena ada guide khusus hehehe… dilanjutkan dengan ziarah kubur ke makam Mbah Putri, Mbah Sayem Binti Kromobini yang berjarak cukup lumayan.

Maka untaian doa kembali hadir, semoga bisa diterima Illahi Robbi dan para leluhur kami ini berbahagia abadi di surga-Mu.

Bismillahirrohmannirrohim, Allohummagfirlahu Warhamhu Waafihi Wa fuanhu Waakrim nujulahu Wawasi’mad kholahu… Alfaatihah”

***

Terasa berat meninggalkan kedua makam yang menjadi asal muasal kehadiranku di dunia fana ini. Jika dari garis ibu adalah keturunan PERANCIS (peranakan ciamis) maka dari gadis ayahanda adalah keturunan OSLO eh solo.

Udah ah, kembali ke dunia nyata. Sesi ziarah kubur berakhir dan kembali merajut hari dengan berbagai aktifitas yang diharapkan bisa menjadi arti bagi mahluk lain dan diri sendiri. Wassalam (AKW).