
Ini lanjutan dari AKU & COVID19 bagian 1.
BANDUNG, akwnulis.com. Di hari kedua isolasi, penciuman dan indera perasa tidak berfungsi. Panik kawan, hati berdebar dan perasaan tidak beraturan, makanan tiada rasa, parfum dan minyak kayu putih lewat di hidung begitu saja, “Ya Allah apa yang terjadi?” Hanya linangan air mata dan ratapan berwujud doa dalam kesendirian ini, betapa rapihnya raga dan jiwa ini.
Cobaan belum berakhir, proses tracing atau pelacakan dimulai dan seluruh keluarga harus swab tes pcr di labkes. Tak terbayang betapa repotnya istriku untuk membawa keluarga besar serumah melakukan tes tersebut. Semakin sedih manakala membayang anak semata wayang berusia 4 tahun harus dicolok hidungnya pas pemeriksaan…. “Ya Allah selamatkan keluarga hamba, semoga hasil tes nya negatif semua”
Alhamdulillah, istriku tegar menghadapi kenyataan ini. Menyetir dan membawa semua keluarga serumah ke labkesda untuk dilakukan pemeriksaan.
5 hari kemudian hasil tes pcrnya keluar, babak baru harus dihadapi. Istriku tersayang dan mamah mertua dinyatakan positif covid19 sementara anak, kakak ipar, saudara dan pembantu hasilnya negatif. Kegalauan memuncak, karena tidak berdaya membantu untuk mengatur semua dengan raga terisolasi disini, di pusat isolasi BPSDM.
Ketegaran istri dan mamah mertua membuat trenyuh hati ini. Mereka berdua yang mengatur model isolasi mandiri di rumah dengan kondisi mereka berdua juga pasien karena gejala semakin terasa. Anak semata wayang yang harus dipisahkan kamar begitu menyiksa perasaan, biasanya kumpul bersama, sekarang terpencar. Ayah di pusat isolasi, ibu di kamar tengah, anak kesayangan di kamar depan bersama kakak ipar dan adiknya papah mertua.
Diri ini semakin terpuruk karena muncul rasa bersalah yang menghunjam ulu hati, menyalahkan diri karena menjadi pembawa virus ini sehingga menulari orang – orang terdekat di rumah. Ditambah kondisi tubuh yang tidak nyaman, hidung mampet, lemas dan yang terasa semakin menyiksa adalah tiada rasa dan tiada bau, tiada harum… hambar dan hampa rasanya.
Apalagi jika ingat sang istri, seorang dokter yang setiap hari harus menggunakan APD lengkap disaat observasi pasien, menahan panas dan gerah serta mandi sebelum pulang ke rumah demi menjaga agar tidak terpapar covid, eh ternyata malah tertular dari suami. Sungguh rasa sesal ini semakin dalam.
Disinilah… sebuah kontemplasi hadir, betapa manusia ini tiada daya dan upaya tanpa kehendak dari Allah Subhana wataala.
Betapa manusia ini, diri ini belum bisa bersyukur atas nikmat Illahi yang begitu berharga dan luar biasa ini. Allah memberi pelajaran hidup dengan mencabut sementara indera perasa dan indera penciuman melalui virus covid19, terasa begitu menyiksa. Manusia langsung mati gaya, stres dan tak jelas arah kehidupannya. Padahal baru 2 butir nikmat dari-Nya, sementara nikmat bernafas, mengedipkan mata tersenyum dan bejibun kemudahan lainnya bukan semata hadir begitu saja, tetapi itu adalah kehendak sang maha pencipta.
Disinilah kesadaran tergugah, betapa selama ini abai dengan kewajiban beribadah baik ibadah kepada Allah secara langsung ataupun ibadah yang berhubungan dengan manusia (hablum minannas).
Obat – obatan dan vitamin yang diberikan langsung dimakan tanpa banyak tanya. Kepedulian orangtua, teman-teman dan berbagai pihak juga menjadi penguat termasuk berbagai kiriman seperti buah-buahan, argentum water, jamu AVC, madu, minyak kayu putih original, serta air doa, semuanya diminum atas nama ihtiar kesembuhan.
Hari keempat penciuman berangsur hadir kembali, teriak kegirangan dikala bisa mencium kembali segarnya aroma minyak kayu putih yang rutin diminum 1 sendok teh selama didera covid19 ini, Alhamdulillahirobbil alamin… Makasih Ya Allah telah mengembalikan lagi nikmat ini. Begitupun indera pengecap/perasa, perlahan tapi pasti telah kembali.
Rutinitas berjemur di rooptop, mengaji, main gitar, menulis, cuci baju, melamun, tidur, nonton tv, kontak – kontak dengan istri, orang tua dan rekan kerja juga ada beberapa zoom meeting dijalani dengan keikhlasan dan kesabaran hingga akhirnya kami berempat pada hari ke 12 dinyatakan boleh pulang dan kembali diijinkan bersua dengan keluarga.
Tapi, istri menyarankan 3 hari dulu memisahkan diri di tempat berbeda dan hari keempat baru bisa ke rumah. Ya sudah ikuti saja.
Disaat bisa kembali ke rumah, baru bisa memeluk erat anak semata wayang saja, karena istri masih isolasi mandiri di kamar begitupun ibu mertua. Sebuah kerinduan yang akhirnya bisa menjadi nyata, meskipun mungkin belum sempurna.
Betapa covid19 ini bisa memporakporandakan semua, tidak hanya phisik yang tersiksa namun psikis juga kena karena rasa bersalah telah menjadi penyebab tertularnya orang – orang tersayang dan terakhir adalah finansial. Betapa mahalnya dampak dari virus ini karena bukan hanya bicara obat – obatan dan vitamin bagi diri ini juga istri dan mertua saja tetapi tambahan biaya untuk tes PCR yang (waktu itu) masih mahal jika dilakukan mandiri sekitar 1jt – 2 jt per orang tergantung kecepatan hasilnya juga biaya katering untuk yang di rumah karena ada 2 pasien yang isolasi mandiri juga banyak lagi biaya tidak terduga lainnya.
Akhirnya setelah genap sebulan, penulis dinyatakan sembuh ternyata istri masih perlu recovery hingga 2 minggu ke depan termasuk mamah mertua yang cukup lama, hingga tes pcr ke 5 baru dinyatakan negatif pkus dibayangi gejala long covid19 yang mudah lelah dan mudah pusing tiba-tiba.
Sebuah pengalaman berharga tentang makna kehidupan, hubungan keluarga dan yang paling penting adalah mempererat keyakinan bahwa manusia adalah mahluk yang lemah dan semua bergantung atas kehendak-Nya.
*** TAMAT ***
Akwnulis.com, 150322
One thought on “Aku & Covid19 – Bagian 2.”